Saturday, 3 April 2010

Diposkan oleh sandy

Di era globalisasi seperti sekarang ini, jarak fisik bukan lagi menjadi halangan untuk berinteraksi, bahkan hingga melewati batas-batas negara. Hal ini tergambar jelas antara lain dengan semakin meningkatnya kecenderungan perkawinan antar bangsa yang terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Banyak negara yang menyikapi hal ini dengan positif dan mengaplikasikannya ke dalam undang-undang/hukum yang akomodatif terhadap gejala ini, walaupun ada pula yang pasif, namun bisa dibilang hanya sedikit negara yang mengabaikan gejala ini. Bahkan Indonesia dalam UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan telah “mengantisipasi” adanya kemungkinan perkawinan campuran antar bangsa ini.

Dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 62/1958, Perempuan WNA yang menikah dengan laki-laki WNI dapat otomatis memperoleh kewarganegaraan Indonesia apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu. Sayangnya, dalam UU yang sama tidak ada pasal yang mengatur tentang bagaimana bila laki-laki WNA menikah dengan perempuan WNI. Ini salah satu saja contoh bias gender. Beberapa masalah lain yang umum dihadapi adalah:

• Perempuan WNI yang menikah dengan WNA tidak dapat memberikan kewarganegaraan Indonesia kepada suaminya bahkan juga tidak kepada anak-anak yang dilahirkannya!

• Perempuan WNI tidak dapat mensponsori suaminya untuk tinggal di Indonesia. Suami harus memperoleh sponsor dari perusahaan di mana ia dipekerjakan.

• Bila anak sudah dianggap dewasa Ibu WNI tidak dapat mensponsori anak-anak tersebut untuk tinggal di Indonesia.

• Perempuan WNI dapat mensponsori anak-anaknya yang WNA yang masih di bawah umur dengan kekecualian bahwa Bapak anak-anak tersebut tidak tinggal di Indonesia atau tidak mempunyai ITAS, atau orangtua anak-anak tersebut telah bercerai dan anak-anak ada dalam perwalian Ibu.

• Suami WNA yang kehilangan pekerjaannya di Indonesia bila masih ingin hidup dalam satu rumah, maka perempuan WNI dan anak-anaknya harus angkat kaki dari bumi Indonesia dan “pulang” ke negara asal suaminya.

• Ibu/istri WNI jika meninggal tidak dapat mewariskan harta berbentuk rumah/tanah yang dimilikinya kepada anak dan suaminya yang berstatus WNA dan keluarga yang baru kehilangan Ibu/istri ini harus rela menjual rumah mereka paling lambat setahun sejak kepergian Ibu/Istri.

Bukan hanya perempuan WNI, perempuan WNA yang menikah dengan laki-laki WNI juga hidup dalam dilema. Alasan mereka tinggal di Indonesia adalah karena mengikuti suami, melahirkan anak-anak dan membesarkan mereka sebagaimana Ibu-Ibu lain. Padahal, kebanyakan dari mereka di negaranya mempunyai karir dan ingin tetap bekerja guna membantu ekonomi keluarga tapi hal “sederhana” itu tidak bisa terlaksana di Indonesia.

Beberapa masalah yang dialami perempuan WNA antara lain:

• Sebagai WNA untuk bekerja membutuhkan perijinan yang berbelit dan salah satunya adalah harus seorang ahli (expert) di bidangnya. Belum lagi biaya yang mahal untuk memperoleh ijin itu.

• Untuk tinggal di Indonesia perempuan ini membutuhkan sponsor dari suami. Bila suami yang WNI meninggal atau perkawinan putus si istri otomatis kehilangan sponsor untuk dapat tinggal di Indonesia.

• Dalam keadaan di mana anak-anak (WNI karena Bapaknya WNI) masih di bawah umur situasi menjadi semakin rumit. Si anak masih terlalu kecil untuk menjadi sponsor bagi Ibunya dan sebaliknya masih memerlukan bimbingan/asuhan ibunya padahal dengan meninggalnya kepala keluarga maka hilang pula penghasilan keluarga tersebut sementara si Ibu tidak dapat bekerja.

• Ibu WNA ini yang masih dirundung malang terpaksa harus menjual warisan rumah/tanah yang diwariskan kepadanya oleh suaminya setahun setelah kepergian suaminya karena menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) seorang WNA tidak diperbolehkan memiliki rumah/bangunan (hak milik). Bila terpaksa si Ibu harus pulang ke negara asalnya membawa anak-anaknya yang WNI ke suatu negara dengan kebudayaan yang berbeda dan memulai semua dari awal. Kalau tidak maka keluarga ini harus tergantung kepada keluarga besar suami.

Selanjutnya, mari kita lihat beberapa pasal dalam deklarasi PBB tentang hak asasi manusia yang telah diadopsi juga oleh Indonesia melalui UU No. 39 Tahun 1999 yang niscaya sangat membantu bagi kondisi perkawinan antar bangsa, bila saja pasal tersebut dapat direalisasikan secara nyata.

• Pasal 1, setiap orang dilahirkan sebagai manusia bebas dan mempunyai hak dan harga diri yang setara.

• Pasal 16, laki-laki dan perempuan dewasa tanpa batasan ras, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka berhak untuk memperoleh persamaan hak seperti saat menikah, selama pernikahan atau bila perkawinan terputus. Perkawinan bisa terjadi hanya bila dilakukan oleh sepasang manusia yang sadar dan bebas. Keluarga adalah kelompok alamiah dan fundamental di tatanan sosial dan berhak atas perlindungan dari lingkungan sosialnya dan negara.

• Pasal 23, setiap orang berhak untuk bekerja, untuk bebas menentukan pekerjaan dstnya. Setiap orang tanpa diskriminasi berhak memperoleh upah yang sama untuk hasil kerja yang sama.

Di dalam era globalisasi ini di mana persaingan sumber daya manusia semakin meruncing dengan diberlakukannya -walaupun secara bertahap- penghapusan batas-batas negara untuk bekerja (misalnya AFTA), Indonesia justru membiarkan “sumber daya manusianya” yang bermutu hengkang ke negara lain hanya karena mereka “setengah” Indonesia dan diperlakukan sebagai layaknya warga negara asing. Padahal, sebagian besar dari mereka dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia dengan budaya Indonesia yang mengalir deras dan sudah menganggap Indonesia sebagai kampung halaman

Oleh karena itu, Bila seorang gadis Jerman menikah dengan lelaki Bali, misalnya, lalu anak mereka lahir di Jerman, maka sangat mungkin anak mereka itu mendapatkan dua kewarganegaraan (Jerman, karena lahir di Jerman, dan Indonesia, karena ayahnya seorang warganegara Indonesia). Anak itu disebut memiliki kewarganegaraan ganda. Hal itu nantinya akan dimungkinkan bila RUU Kewarganegaraan disahkan. Pasal 3 ayat (1) RUU itu menyatakan, ”Anak WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli akan mendapatkan status kewarganegaraan ganda. Untuk kepastian bahwa ia mempertahankan kewarganegaraan RI maka orangtua anak tersebut harus menyatakan bahwa anak tersebut tetap berstatus WNI.”

Bahan artikel ini diambil dari :

  1. Tjakrawinata, dewi.2005.koordinator Aliansi Pelangi Antar Bangsa. Lead Sector ruu Kewarganegaraan JKP3.19 November 2005.cilember
  2. artikel-artikel lain yang terkait dengan bahasan Kewarganegaraan

0 komentar:

Post a Comment