Tuesday, 4 May 2010

Diposkan oleh sandy


Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia.Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.

Ada hal yang menggelitik dari peristiwa ini, mengapa kita kalah begitu telak, padahal perkiraan para pemerhati atas putusan ICJ “fifty-fifty”, karena dasar-dasar hukum, peta dan bukti-bukti lain yang disiapkan oleh kedua pihak relatif berimbang. Dari penjelasan yang di “release” mass media, ternyata ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua Pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.

Sia-sialah perjuangan Indonesia selama belasan tahun kita memperjuangkan kedua pulau tersebut kedalam wilayah Yurisdiksi kedaulatan NKRI, ini akibat dari kekurang-seriusan kita dalam memperjuangkannya, itulah komentar-komentar yang muncul. Benarkah birokrat kita kurang serius memperjuangkan pemilikan dua pulau tersebut ?

Dari rangkaian panjang upaya yang dilakukan rasanya perjuangan kita cukup serius. Putusan MI sudah final dan bersifat mengikat sehingga tidak ada peluang lagi bagi Indonesia untuk mengubah putusan tersebut. Tidak patut lagi kekalahan ini harus diratapi, yang terpenting bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke depan jangan sampai kecolongan lagi untuk ketiga kalinya.

Sekilas mengenai proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan.

Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Disaat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”.Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.

Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.

Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.

Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “ Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3 –12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.

Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp. 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak serius memperjuangkan P. Sipadan dan P. Ligitan.

KONDISI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA

  • Penegasan Batas.

Indonesia berbatasan di darat dengan Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Larose. Proses penegasan batas darat dengan Malaysia yang dilaksanakan sejak tahun 1975 yang panjang mencapai lebih dari 2000 km, hampir selesai dilaksanakan ( teknis dilapangan) oleh tim Teknis penegasan Batas Bersama (Joint Border Demarcation Team).

Penegasan batas dengan PNG telah berhasil menyelesaian pilar batas utama (Monumen Meridian/MM). Dan sekarang dalam tahap perapatan pilar batas. Namun dikarenakan berbagai kendala proses perapatan pilar batas ini sejak tahun 2000 berhenti. Sementara itu penegasan batas dengan Timor Larosae sudah dirintis sejah pemerintahan pewakilan PBB (UNTAET) dan sekarang telah sampai pada tahap survey penyelidikan lapangan (Joint Reconnaissance Surveys).

Penegasan batas wilayah negara di laut diwujudkan dengan cara menentukan angka koordinat geografi yang digambar di atas peta laut, sebagai hasil kesepakatan bersama melalui perundingan bilateral. Batas laut ini terdiri dari batas laut wilayah/teritorial, batas landas kontinen dan batas zona ekonomi Ekslusif (ZEE). Indonesia yang berbatasan di laut tidak kurang dengan 10 negara, baru sebagian kecil saja batas lautnya yang telah ditegaskan antara lain dengan Malaysia, Singapura, Australia, PNG, Thailand dan India. Hal itupun bersifat parsial, belum secara tuntas menyelesaikan seluruh segmen batas dan jenis batas laut.

  • Kondisi Wilayah Perbatasan.

Wilayah perbatasan (Wiltas) darat antar RI dengan Malaysia, PNG dan Timor Larosae terdiri dari daerah pegunungan, dengan konfigurasi medan yang berat/terjal, bervegetasi hutan yang relatif rapat dengan penduduk sangat jarang. Kondisi demikian dikarenakan pemerintah tidak menjadikan Wiltas sebagai prioritas dalam program pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun Pemda. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, Wiltas diposisikan sebagai daerah pinggiran/periferal atau daerah belakang yang sering terabaikan. Dalam pembangunannya, namun sumber daya alamnya, khususnya kayu dieksploitasi dengan serampangan secara besar-besaran. Hal tersebut meninggalkan keprihatinan dan luka hati yang dalam bagi penduduk Wiltas. Ironinya kerusakan hutan yang terjadi sering ditimpakan kepada penduduk Wiltas. Akibatnya, penduduk Wiltas yang semula sangat peduli dengan lingkungan (menyatu dengan alam) menjadi berubah drastis.

Mereka pada akhirnya mulai berkolusi dengan para penjarah hutan tersebut. Mereka juga mulai berfikir dan bersikap materialistis-konsumeris. Sementara itu sikap moral dan pengabdiannya terhadap lingkungan mulai tergerus menipis. Orientasi penduduk Wiltas terutama anak-anak mulai berubah. Setelah TV, Radio, Parabola masuk Wiltas, mereka mulai mengenal budaya “jalan pintas” untuk menjadi kaya. Mereka banyak yang meninggalkan kampungnya, me-ngubah mata pencarian dan berspekulasi di kota terdekat. Itulah proses degradasi lingkungan dan komunitas Wiltas.

Wilayah Perbatasan Laut (Wiltasla). Kondisi Wiltasla lebih memprihatinkan lagi. Penduduk pulau–pulau perbatasan laut seperti penduduk Kep. Sangir dan Talaud (Satal) di Sulawesi Utara, kondisinya secara umum tidak bertambah maju. Bahkan jumlahnyapun malah berkurang. Hal ini disebabkan kesulitan hidup karena lokasi geografi yang terpencil dan faktor keganasan badai laut. Kaum muda di sini juga banyak yang pindah ke daratan Sulawesi Utara. Hal yang hampir sama juga terjadi di P. Miangas (Palmas), Kep Natuna dan pulau-pulau Wiltas lainnya.

Sementara itu, kekayaan laut Wiltasla banyak dirambah nelayan asing. Dengan kapal modern dan peralatan yang canggih, mereka bebas berkeliaran di perairan Wiltasla kita tanpa rasa takut, karena jarang aparat Kamla kita yang berpatroli di sana. Sementara penduduk setempat tidak berdaya mengusir mereka. Bahkan penduduk (sebagian) tidak merasa perlu mengusir para penjarah ikan itu, karena mereka memberi manfaat bagi penduduk setempat. Sikap penduduk Wiltas yang demikian tidak perlu dipersalahkan, karena mereka bodoh tidak tersentuh pemberdayaan SDM, apatah lagi sikap Bela Negara.

  • Upaya yang perlu dilaksanakan.

Untuk meningkatkan pengamanan di Wiltas, maka harus dilakukan perkuatan atau peningkatan kemampuan secara sinergis antara komunitas penduduk perbatasan dengan aparat Hankam di Wiltas.

Persepsi, strategi dan kebijakan pembangunan Wiltas seyogiannya diubah. Selama ini Wiltas dipandang sebagai daerah pinggiran (periphery areas atau border areas). Kita harus punya keberanian mengubah paradigma ini menjadikan Wiltas sebagai daerah depan (frontier areas). Mengapa demikian, karena daerah ini langsung bersentuhan dengan luar negeri. Bagi pihak asing (negara tetangga) kesan pertama mereka atas Indonesia diperoleh dari kondisi lingkungan dan komunitas penduduk perbatasan. Dengan demikian, Wiltas menjadi “Cermin” Indonesia.

  • Beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk memberdayakan Wiltas.

Merancang konsep pembedayaan Wiltas secara terpadu baik fisik maupun non fisik (SDM) sesuai potensi sumberdaya yang ada. Dalam konsep Bangwiltas terpadu ini termasuk sektor Hankam Wiltas. Dalam hal ini, posisi penduduk sebagai subyek pembangunan yang aktif. Setiap pembangunan dari masing-masing sektor (Ipoleksosbud Hankam) harus dirancang untuk saling memberi manfaat. Pembangunan dapat diawali dengan prasarana transportasi (jalan, terminal, bandara, pelabuhan dll) yang dikonsep tidak saja untuk kegiatan sosial, ekonomi, budaya, namun harus dapat dimanfaatkan untuk kemudahan operasi

Hankam. Selanjutnya pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan sumberdaya permukaan (tanah dan hutan). Tidak ada salahnya kita berguru kepada Malaysia, bagaimana mereka menata jaringan jalan dan perkebunan sawit serta hutan secara teratur dan terkonsep yang sangat berbeda kenampakannya dengan Wiltas di Kalimantan yang semraut.

Prioritaskan penyelesaian penegasan batas negara, termasuk pemetaan dalam skala yang memadai (Wiltasrat 1 ; 50.000 dan Wiltasla 1 ; 250.000). Peta standar ini penting sebagai sarana operasi Hankam dan pembangunan (sebagian sudah dilaksanakan Dittopad dan Dishidros TNI-AL).

Tingkatkan Operasi, pengamanan Wiltas secara periodik, terkoordinasi, dan sekali–sekali kerjasama dengan negara tetangga sambil mensosialisasikan wilayah tanggung jawab masing-masing. Untuk mendukung Pamwiltas ini dapat juga digunakan jasa Satelit dan penerbangan perintis lintas zona perbatasan misalnya : Dari Pontianak ke Kota Kinabalu (Malaysia) dan dari Jaya Pura ke Port Moresby (PNG).

Pemberian subsidi yang memadai untuk aparat dan pegawai negeri serta masyarakat Wiltas. Tanpa subsidi hidup di Wiltas terasa sangat berat karena biaya hidup di sana sangat mahal. Seharusnya subsidi yang diberikan di Wilayah Satal, Natuna, Miangas lebih besar dari pada yang bertugas/yang tinggal di Irian/Papua. Untuk masyarakat, subsidi hendaknya diprioritaskan untuk sektor pendidikan, pangan pokok, kesehatan dan modal usaha kecil.

  • Pelajaran yang dapat diambil.

Ketika pemerintah memutuskan jajak pendapat di Timor-Timor untuk menentukan apakah rakyat Tim-Tim akan memilih tetap bergabung (Integrasi) NKRI atau merdeka, tidak begitu banyak kalangan yang menentang karena di atas kertas pihak pro integrasi diperkirakan akan menang, setidak-tidaknya fifty-fifty. Namun, ternyata setelah jejak pendapat dilaksanakan, pihak pro integrasi kalah dengan presentase secara menyolok (kurang lebih 23,5 %). Demikian pula dengan kasus P. Sipadan dan P. Ligitan, perkiraan menang-kalah 50% – 50%, sehingga minimal P. Sipadan masih bisa menjadi milik Indonesia kenyataannya, Indonesia kalah secara meyakinkan.

Dari dua kasus di atas dapat diambil kesimpulan, pertama patut diduga bahwa dalam kedua kasus di atas ada pihak ketiga yang turut “bermain” untuk merugikan Indonesia. Kedua, sesuatu kebijakan yang diambil pemerintah yang berdampak pada resiko kehilangan sebagian wilayah tanah air harus dipertimbangkan dengan seksama melibatkan semua komponen bangsa, bahkan kalau bisa, dihindari.

Ketiga, mencermati pengambilan putusan MI yang didasarkan pada kriteria “Continuous presence, dan effective occupation” hal ini memberikan signal negatif dan preseden buruk yang menuntut kehati-hatian dan kewaspadaan kedepan.

Ada beberapa pulau kecil terpencil yang secara posisi geografis kedudukannya lebih dekat dengan negara tetangga yang diindikasikan memiliki keinginan memperluas wilayah. Pulau-pulau tersebut antara lain, P. Nipah dan beberapa pulau Karang tak berpenduduk yang berbatasan dengan Singapura. P. Rondo berbatasan dengan Kepulauan Andaman (India), P. Miangas berbatasan dengan Philipina, P. Pasir Putih berbatasan dengan Australia dan ada satu pulau kosong di Kalimantan Barat yang dihuni nelayan Thailand. Negara-negara tetangga memiliki kesempatan terbuka untuk menguasai pulau-pulau tersebut dengan menggunakan pendekatan pembinaan Continuous Presence dan Effective Occupation. Selama ini penghidupan penduduk pulau-pulau tersebut banyak bergantung kepada negara tetangga terutama segi-ekonomi. Mereka juga lebih banyak menonton televisi dari siaran TV Malaysia atau Singapura. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan komitmen, hak dan kewajiban mereka selaku warga negara RI.

PENUTUP.

Demikian tulisan ini dibuat sebagai sumbangan pendapat dan bahan masukan perbicangan lebih jauh tentang pemberdayaan Wiltas, khususnya di bidang Hankam Wiltas.

Daftar Pustaka :

1. Pustaka TNI, Batas Laut Negara RI, Jakarta, 1999

2. Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK. Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002.

3. Frans B. Workala, SPd, MM, Pengembangan, Sumber Kekayaan Alam Daerah Perbatasan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional, Taskap KSA X Lemhannas, Jakarta 2002

4. Hasjim Djalal, Prof. DR, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi ?, SK Kompas, Jakarta, 13 Januari 2003.

5. Umar S. Tarmansyah, Drs, Makna Fungsi Batas Negara Dalam Bingkai Pembinaan Daerah Pertahanan, Karmil, Jakarta, 2000.

6. Umar S. tarmansyah, Drs, Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Pertahanan Keamanan dan Pembangunan Nasional, Jakarta, 1998

7. SK. Kompas, Sipadan-Ligitan, Ujian Kematangan Suatu Bangsa, Jakarta, 18 Desember 2002.

8. SK Kompas, Sangir Bobol, Indonesia Terancam, Jakarta, 23 Desember 2002.

0 komentar:

Post a Comment